Keistimewaan yang dimilikinya
Beliau terhitung warga Madinah dan termasuk para sahabat mulia dari kabilah Anshar. Meskipun tidak tinggal di kota Mekkah dan menjadi orang pertama masuk islam, namun cahaya keimanan dan pancaran kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah besar, hal inilah yang membuat dirinya turut hadir dalam peristiwa perjanjian setia di Aqabah.
Beliau terhitung warga Madinah dan termasuk para sahabat mulia dari kabilah Anshar. Meskipun tidak tinggal di kota Mekkah dan menjadi orang pertama masuk islam, namun cahaya keimanan dan pancaran kecintaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah besar, hal inilah yang membuat dirinya turut hadir dalam peristiwa perjanjian setia di Aqabah.
Tatkala Rasul yang mulia
melakukan perjalanan hijrah bersama Abu Bakar dari Mekkah menuju
Madinah, maka rumah beliau menjadi tempat tinggal yang pertama kali
disinggahi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selama kurang lebih tujuh bulan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mempersaudarakan Abu Ayyub dengan Mus’ab bin Umair, seorang sahabat
dari kalangan muhajirin sekaligus dai yang dikirim oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajarkan Islam dan mendakwahkan tauhid kepada penduduk kota Madinah sebelum hijrah.
Tak lupa, beliau pun
senantiasa ikut menyertai Rasulullah dan mengikuti pertempuran antara
kaum muslimin melawan orang-orang kafir yang diawali dengan perang
Badar, lalu berlanjut ke perang Uhud dan pertempuran sesudahnya. Beliau
tak pernah absen dari jihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khalifah sesudahnya hingga akhir hayatnya.
Saat khalifah Ali bin Abi
Thalib keluar menuju Iraq, beliau mengangkat dirinya sebagai pemimpin
kota Madinah. Tak lama berselang Abu Ayyub pun menyusul beliau dan turut
hadir dalam pertempuran Nahrawan melawan orang-orang khawarij.
Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, Semua mata memandanginya dengan penuh kerinduan. Mereka semua membuka pintu-pintu rumah, berharap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia itu sudi menginap di tempat mereka.
Sekalipun orang-orang
Anshar bukan termasuk orang-orang yang sangat kaya, tetapi setiap orang
di antara mereka berharap agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
singgah di rumahnya. Tak ada satu rumah pun yang dilalui beliau
melainkan mereka pasti memegang tali kekang onta Beliau, sambil
meminta agar beliau berkenan singgah di rumahnya. Beliau bersabda, “Berilah jalan kepada unta ini, karena ia adalah onta yang sudah diperintah.“
Unta beliau terus berjalan
hingga tiba di suatu tempat yang sekarang menjadi Masjid Nabawi. Di
tempat ini onta tersebut berhenti dan duduk. Namun beliau tidak turun
dari punggungnya. Onta itu berdiri lagi berjalan beberapa langkah,
menolehkan kepala lalu kembali lagi dan berhenti dan duduk ditempat
semula. Baru setelah itu beliau turun dari punggungnya. Tempat itu
berada di Bani An-Najjar, yang masih terhitung paman-paman beliau.
Berkat taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala beliau memang lebih
senang singgah di tempat paman-pamannya, dengan begitu beliau bisa
memuliakan mereka. Semua orang berbicara kasak-kusuk tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang akan singgah di rumah mereka. Maka Abu Ayyub segera mengambil
pelana ontanya lalu memasukkannya ke dalam rumah. Melihat hal ini beliau
bersabda,
“Seseorang itu beserta pelananya. “Sementara As’ad bin Zurarah datang sambil memegangi tali kekang ontanya dan berada di dekat beliau.
Dalam riwayat Al-Bukhari dari Anas disebutkan, Nabi bertanya,”Siapakah rumah kerabat kami yang paling dekat jaraknya?“
Abu Ayyub menjawab,”Aku wahai Rasulullah. Itu rumahku dan itu pintunya.”
Maka beliau beranjak dan Abu Ayyub menyiapkan tempat yang biasa dipergunakan untuk istirahat siang. Saat itu beliau bersabda, “Orang-orang yang berada pada berkah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Rumah Abu Ayyub terdiri
dari dua lantai. Dia bermaksud mengosongkan barang-barangnya di lantai
atas agar bisa di tempati oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memilih tinggal di lantai bawah sehingga Abu Ayyub menuruti saja kehendak beliau.
Ketika malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak ke peraduannya, sementara Abu Ayyub dan istrinya naik ke lantai atas. Setelah menutup pintu, berkatalah Abu Ayyub, “Istriku,
apa yang kita lakukan ini?Rasulullah berada di bawah dan kita di
atasnya? Patutkah hal seperti ini? Kita berada di antara Nabi dan wahyu
yang akan turun kepada beliau!
Semalaman kedua suami istri
ini gelisah dan tak tahu yang harus dilakukan. Mereka menyingkir dari
tengah-tengah ruangan yang diperkirakan Rasulullah tidur di bawahnya.
Bila hendak pergi ke sisi ruangan yang lain, mereka berjalan menempel
dinding karena tak ingin berjalan di atas Rasulullah.
Pagi harinya Abu Ayyub berterus terang kepada Rasulllah, “Wahai Rasulullah, demi Allah semalam suntuk saya tidak dapat memejamkan mata, demikian pula dengan ummu Ayyub.”
Nabi bertanya, “Apakah sebabnya, wahai Abu Ayyub?”
“Saya teringat betapa
saya berada di atas sedangkan Anda di bawah. Bila saya bergerak, maka
debu-debu akan rontok dari atas dan mengganggu Anda. Di samping itu saya
berada di antara wahyu dan Anda.”
Rasulullah menenangkannya, “Tenanglah, Abu Ayyub. Sesungguhnya aku merasa lebih enak berada di bawah, karena nantinya tentu banyak tamu yang berdatangan.”
Aku mengikuti pilihan
Rasulullah. Tapi pada suatu malam yang amat dingin, kendi air minum kami
terjatuh dan airnya membasahi lantai. Sedangkan satu-satunya benda yang
bisa dipakai untuk mengelapnya hanya selimut yang kami pakai. Maka
tanpa pikir panjang kami segera mengepel air tumpahan tersebut dengan
selimut sebelum terlanjur menetes ke bawah dan mengenai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keesokan harinya aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Demi ayah bundaku, wahai Rasulullah, benar-benar saya tidak bisa tinggal di atas Anda”.
Kuceritakan soal kendi yang pecah itu. Beliau akhirnya menerima
alasanku dan bersedia pindah ke atas, sedangkan aku dan Ummu Ayyub turun
ke lantai bawah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tinggal di rumah Abu Ayyub selama 7 bulan, yaitu sampai masjid di atas
tanah yang diduduki onta beliau selesai dibangun. Selanjutnya beliau dan
para istrinya tinggal di bilik-bilik di sebelah masjid. Beliau menjadi
tetangga Abu Ayyub, tetangga yang menyebabkannya memperoleh kemuliaan
dan keutamaan.
Ibnu ‘Abbas pernah bercerita sebagai berikut:
Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar. “Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?” tanya Umar. Jawab Abu Bakar, “Saya lapar!” Kata ‘Umar, “Demi Allah! Saya juga lapar.”Ketika mereka sedang berbincang begitu, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam rnuncul.
Tanya Rasulullah, “Hendak kemana kalian di saat panas begini?” Jawab mereka, ‘Demi Allah!Kami rnencari makanan karena lapar.” Kata Rasulullah, Demi Allah yang jiwaku di tangan Nya! Saya juga lapar. Marilah ikut saya.”
Mereka bertiga berjalan
bersama-sama ke rumah Abu Ayyub Al Anshari. Biasanya Abu Ayyub selalu
menyediakan makanan setiap hari untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bila beliau terlambat atau tidak datang, makanan itu dihabiskan oleh keluarga Abu Ayyub.
Setelah mereka tiba di pintu, Istri Abu Ayyub keluar menyambut mereka, “Selamat datang, wahai Nabi Allah dan kawan-kawan!” kata ibu Ayyub. “Kemana Abu Ayyub?” tanya Rasulullah. Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurma dekat rumah.
Mendengar suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia bergegas menemui beliau.“Selamat datang, wahai Nabi Allah dan kawan-kawan!” kata Abu Ayyub. Abu Ayyub langsung menyambung bicaranya, “Wahai, Nabi Allah! Tidak biasanya Anda datang pada waktu seperti sekarang. Jawab Rasulullah “Betul, hai Abu Ayyub!
Abu Ayyub pergi ke kebun,
lalu dipotongnya setandan kurma. Dalam setandan itu terdapat kurma yang
sudah kering, yang basah, dan yang setengah masak.
Kata Rasulullah, “Saya tidak menghendaki engkau memotong kurma setandan begini. Alangkah baiknya jika engkau petik saja yang sudah kering. Jawab Abu Ayyub, “Wahai,
Rasulullah, saya senang jika Anda suka mencicipi buah kering, yang
basah, dan yang setengah masak. Sementara itu saya sembelih kambing
untuk Anda bertiga.”
Kata Rasulullah,“Jika engkau menyembelih, jangan disem-belihkambing yang sedang menyusui.” Abu Ayyub menangkap seekor kambing, lalu disembelihnya. Dia berkata kepada sang istri, “Buat adonan roti. Engkau lebih pintar membuat roti.”
Abu Ayyub membagi dua
sembelihannya. Separuh digulainya dan separuh lagi dipanggangnya.
Setelah masak, maka dihidangkannya ke hadapan Rasulullah dan sahabat
beliau.
Rasulullah mengambil sepotong gulai kambing, kemudian diletakkannya di atas sebuah roti yang belum dipotong. Kata beliau, “Hai Abu Ayyub! Tolong antarkan ini kepada Fatimah. Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat makanan seperti ini. Selesai makan Rasulullah berkata, “Roti, daging, kurma kering, kurma basah, dan kurma setengah masak.” Air mata beliau mengalir ke pipinya. Kemudian beliau bersabda “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya! Sesungguhnya beginilah nikmat yang kalian minta nanti di hari kiamat.
Maka apabila kalian memperoleh yang seperti ini bacalah “Basmalah” lebih dahulu sebelum kalian makan. Bila sudah kenyang, baca tahmid: “Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah mengenyangkan kami dan memberi kami ni’mat.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bangkit hendak pulang. Beliau berkata kepada Abu Ayyub, ‘Datanglah besok ke rumah kami!”
Sudah menjadi kebiasaan bagi Rasulullah, apabila Seseorang berbuat baik
kepadanya, beliau segera membalas dengan yang lebih baik.Tetapi Abu
Ayyub tidak mendengar perka-taan Rasulullah kepadanya. Lalu dikatakan
oleh ‘Umar, “Rasulullah menyuruh Anda datang besok ke rumahnya. Kata Abu Ayyub, “Ya, saya patuhi setiap perintah Rasulullah.”
Keesokan harinya Abu Ayyub
datang ke rumah Rasulullah. Beliau menghadiahi Abu Ayyub seorang gadis
kecil untuk dijadikan pembantu rumah tangga. Kata Rasulullah, “Perlakukanlah anak ini dengan baik, hai Abu Ayyub! Selama dia bersama kami, saya lihat anak ini baik.”Abu Ayyub pulang ke rumahnya membawa seorang gadis kecil. “Untuk siapa ini, Abu Ayyub?” Tanya Ummu Ayyub. “Untuk kita. Anak ini diberikan Rasulullah kepada kita,” jawab Abu Ayyub.
“Hargailah pemberian Rasulullah. Perlakukan anak ini lebih daripada sekedar suatu pemberian’ “ kata Ummu Ayyub. “Memang! Rasulullah berpesan supaya kita bersikap baik terhadap anak ini,” kata Abu Ayyub. “Bagaimana selayaknya sikap kita terhadap anak ini, supaya pesan beliau terlaksana?” tanyaUmmu Ayyub.
“Derni Allah! Saya tidak melihat sikap yang lebih baik, melainkan memerdekakannya,”jawab Abu Ayyub.“ Engkau benar-benar mendapat hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika engkau setuju begitu, baiklah kita merdekakan dia,”
kata Ibu Ayyub menyetujui. Lalu gadis kecil itu mereka merdekakan.
ltulah sebagian bentuk nyata celah-celah kehidupan Abu Ayyub setelah dia
masuk Islam.
Saat semua shahabat Nabi di Madinah gempar karena berita negatif tentang diri Aisyah radhiyaallahu ‘anha, Abu Ayyub Al-Anshari dan isterinya adalah orang yang selamat dari fitnah itu.
Isterinya bertanya kepadanya, “Apakah kamu tidak mendengar omongan orang tentang Aisyah?“Abu Ayyub menjawab, “Ya, saya dengar. Dan semua itu adalah bohong. Apakah kamu wahai UmmuAyyub termasuk yang melakukannya(menuduh Aisyah)?” Isterinya menjawab, “Demi Allah, aku tidak pernah melakukannya.”
Abu Ayyub berkata, “Aisyah jauh lebih baik dari kamu, demi Allah.” Isterinya menjawab, “Benar.“
Dan hal itu menjadi salah
satu sebab turunnya ayat Al-Quran yang membela nama baik Aisyah, di mana
ada sebagian shahabat Nabi yang mengatakan bahwa berita miring tentang
Aisyah adalah semata-mata kebohongan.
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
“Mengapa orang-orang
muk-min dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri,
ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu
berita) bohong yang nyata. “(QS. An-Nuur: 12)
Khusus untuk Abu Ayyub, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendoakannya secara khusus, yaitu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Shafiyah saat perang Khaibar atau perang lainnya, Rasulullah melewati malamnya di dalam tenda bersama isterinya.
Dan Abu Ayyub radhiyallahu anhu juga tidak tidur malam itu berjaga-jaga di luar tenda. Ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada apa wahai Abu Ayyub?” Beliau menjawab, “Saya
mengkhawatirkan keselamatan diri anda dari wanita ini. Sebab telah
dibunuh ayahnya, suaminya dan kaumnya. Dan dia baru saja masuk Islam.
Maka saya mengkhawatirkan keselamatan Anda.”
Maka Rasulullah menjawab, “Wahai Allah Subhanahu Wa Ta’ala, jagalah dan lindungilah Abu Ayyub sebagaimana dia bergadang menjagaku.”
Sepanjang hidupnya, Abu
Ayyub adalah seorang mujahid, seorang pejuang yang aktif. Dia bahkan
tidak pernah ketinggalan dalam seluruh perang muslimiin sejak masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga masa Muawiyah kecuali bila disibukkan oleh suatu tugas.
Perang terakhir yang
diikutinya adalah penaklukan Konstantinopel. Muawiyah saat itu
mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh putranya sendiri, Yazid.
Pada masa itu Abu Ayyub
adalah seorang lanjut usia berumur delapan puluhan. Dia tidak mau
ketinggalan ikut berperang di bawah panji-panji Yazid dan turut
menerjang gelombang musuh sebagai seorang pejuang. Dia mengutip firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا
“Berangkatlah kamu, baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat” (QS. At-Taubah:41)
Lalu berkomentar: “Aku tidaklah mendapati diriku melainkan rasa ringan dan rasa berat.”
Namun Abu Ayyub tak mampu lama-lama bertempur. Dia menderita sakit yang mengharuskannya untuk beristirahat.
Yazid sebagai panglima menjenguk dan bertanya, “Adakah anda memerlukan sesuatu, Abu Ayyub?”
Dia menjawab, “Sampaikanlah salamku kepada seluruh kaum muslimin…”
Dia menjawab, “Sampaikanlah salamku kepada seluruh kaum muslimin…”
Abu Ayyub juga berpesan
agar pasukan terus maju kedaerah musuh dan membawanya bersama mereka.
Bila nanti dia wafat di medan perang, hendaknya jenazahnya dibawa dan
dimakamkan dibawah dinding batu konstantinopel.
Tak lama setelah itu, Abu Ayyub pun wafat pada tahun 52H.
Pasukan muslimin melaksanakan amanat sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
ini. Mereka terus bertempur dengan gagah berani. Ketika mencapai
dinding Konstantinopel mereka memakamkan jenazah Abu Ayyub dibawahnya. Radhiyallahu ‘anhu wa ardhohuDisusun oleh Ustadz Muhammad Rijal Syahidin, Lc dari Majalah Al Bayan Edisi 7
No comments:
Post a Comment